Yang Berbakatlah yang akan dikenang

Pemilik Blog

Zainuddin

Wednesday 28 June 2017

On June 28, 2017 by zainuddin in    1 comment
PRIA MUDA YANG INGIN MENIKAH


Pagi itu pukul 10.00. satu  jam lalu. Saya baru selesai memberikan sebuah pengajian rutin yang sudah 6 tahun saya tekuni. Para pengikut pengajian itu kebanyakan orang orang tua berusia di atas 40 tahun. Namun ada juga beberapa anak muda yang akhir akhir ini ikut mengaji. Pengajian dimulai sehabis sholat subuh kira kira pukul 06.00, dan berakhir pukul 09.00 pagi.
Saat itu, seorang anak muda berusia dibawah 20 tahun, yang sudah sangat saya kenal karena ia peserta rutin pengajian saya, tiba tiba duduk menghadap. Sepertinya ada hal penting yang ingin ia tanyakan pada saya.
“bisa Tanya sedikit ustadz?” pemuda itu kelihatan ragu ragu.
“bisa saja. Kenapa tidak?”
“begini ustadz. Usia saya sekarang baru 18 tahun namun terus terang saya ingin sekali menikah. Saya hawatir terjebak dalam perzinaan, bila saya harus menunda menikah lebih lama lagi.” Tanpa sungkan pemuda itu menceritakan keinginannya. Cerita itu sendiri sejatinya sudah memuat pertanyaan. Namun saya ingin tau lebih jauh. saya biarkan ia terus bercerita.
“saya sadar, saya masih terlalu hijau untuk menikah tapi saya lebih sadar bahwa tanpa menikah, saat ini saya tak kuat menahan godaan syahwat. Saya sudah telaten berpuasa Dawud (sehari berpuasa dan sehari tidak berpuasa) satu tahun ini, untuk menjalangkan sunnah Rasul. Gejolak nafsuh itu memang teredam sebagiaannya. Namun yang tersisa masih begitu kuat. dan merasa sangat tersiksa. Apa saya sudah layak meniakh ustadz?” sepertinya, itulah inti pertanyaannya.
“sudah punya calon?” Tanya saya.
Saya sengaja tidak menjawab soal kelayakan dan ketidaklayakannya menikah, seperti yang ia tanyakan. Karena bagi saya, itu sudah bisa di pahami oleh pemuda itu yang sesungguhnya tidaklah awam sama sekali di bidang ilmu agama ini.
“sudah”
“sudah meminangnya?”
“belum. Saya belum mengambil keputusan untuk meminang, apalagi menikahinya. Tapi kedua orangtua saya, dan kedua orangtua calon istri saya, sudah mengetahui keinginnan saya. Saya masih ingin memantapkan diri. Itulah, kenapa saya datang ke sini, dan bertanya kepada ustadz.”
“apa alsan anak muda, menunda melamarnya?”
“ini yang menjadi persoalannya.” Tukas anak muda itu cepat.

“saya sudah berniat mengajukan lamaran.seminggu yang lalu saya berjumpa dengan calon saya dirumahnya ditemani oleh kakak laki lakinya. Di situ saya berkenalan lebih jauh, bertanya kesana kemari, dan saling melakukan penjajakan. Untuk sementara waktu kami merasa sangat cocok. Rencananya, minggu ini saya akan menemui kedua orangtuanya untuk mengajukan lamaran. Kedua orangtua saya sendiri merestui saja, asal pihak kedua orang tua calon istri saya menerima lamaran saya. Tapi, saya masih ragu untuk mengajukan lamaran.”
“kenapa?”
“kedua orangtua calon saya pernah bilang - saat pertama kali saya dating ke rumahnya -, bahwa ia hanya akan menikahkan anaknya, bila calon suaminya sudah mapan. Minimal sudah memiliki pekerjaan yang layak, meski belum punya rumah atau kendaraan. Idealnya sih, menurut mereka yang kaya dan berpendidikan tinggi.”
“lalu, masalahnya?”
“saya belum punya pekerjaan tetap. Apa larangan orangtua untuk menikahkan anaknya, bila calon suami anaknya belum memiliki pekerjaan tetap itu dibenarkan dalam syariaat? Apa itu bukan termasuk ‘adhuul3, karena melarang anak menikah tanpa alasan syar’i?” pemuda itu mencecar saya dengan dua pertanyaan sekaligus.
“alasan calon mertuamu itu logis, dan tidak berlawanan dengan syariat…”
“tapi ustadz, bukankah ada pemuda di zaman Nabi Muhammad SAW yang menikah dengan mahar hanya bacaan al-Qur’an? Satu dirham pun dia tak punya?” sela anak muda itu.
“Dengarkan dulu penjelasan saya. Alasan calon mertuamu itu tidak melanggar syariat. Saya tidak mengatakan, bahwa seorang pria tidak boleh menikahi wanita, sementara ia belum punya kerja. Atau karena dia miskin dan tak punya apa apa. Bukan begitu maksud saya.
Tapi masalahnya, bersalahkah orangtua yang melarang anaknya menikah dengan pemuda yang belum memiliki pekerjaan tetap? Karena ia khawatir anaknya akan terlantar, dan si pemuda tak mampu merawat dan mengurusinya?
Menurut saya, ia tidak bersalah. Ia berhak. Kenapa? Karena nafkah lahir batin dari suami adalah hak istri orangtua sah sah saja melarang anaknya menikah, dengan pria yang belum ia yakini akan bisa memberikan apa yang menjadi hak putrinya itu.
 


3 ‘adhuul yaitu kondisi wali yang melarang anaknya menikah karena alasan yang tidak dibenarkan syariat, sehingga si anak tidak bisa menjalani kewajibannya menikah. Atau kondisi wali yang dikenal sebagai pencandu dosa dosa besar seperti zina, minuman keras, perampok dan sejenisnya, sehingga meski bukan kafir, tapi tak layak lagi menjadi wali dalam menikahkan putrinya. Status kewaliannya gugur. Para ulama menyebutnya sebagai ‘adhuul. Tentang definisi ‘adhuul dan batasannya memang masih kontroversial diantara ulama.

          Syaikh Abdullah bin Jaril Ali Jaarillah menjelaskan,”Allah juga mewajibkan kepada suami untuk menafkahi istrinya. Itu juga merupakan sebuah ‘konpensasi’,karena wanita akan lebih banyak tinggal dalam rumah, berkonsentrasi penuh membina rumah tangga. Itu menunjukkan ‘kasih sayang’lain, yang allah berikan kepada  wanita. Kesimpulannya, bahwa mahar seorang wanita itu haram untuk dimakan orang lain (termasuk oleh suaminya), bahkan di anggap harta busuk dan hina dan perbuatan itu dianggap sebagai tindakan zalim dan kemungkaran. “
          Muawiyyah bin haisdah al-qusyairi perna menceritakan,”aku perna bertanya,
“wahai rasulullah,sebenarnya apa hak seorang istri atas diri suaminya?’
Beliau menjawab”seorang istri harus mendapatkan makan sebagaimana yang kalian makan , mendapatkan pakaian sebagaimana yang kalian kenakan. Jangan sekali kali memukul wajahnya, jangan menjelek jelekkan , serta jangan memisahkan dirinya dengan kalian kecuali hanya didalam rumah saja.”
Sabda nabi,yang artinya 
“uang yang terbaik adalah yang diberikan seseorang sebagai nafkah bagi keluarganya, atau untuk mengurus binatan tunggangannya di jalan allah atau diberikan pada kepada teman-temannya Fisabilillah”
          Berdasarkan semua nash itu, syarat yang diajukan calon mertuamu sejalan dan relevan dengan keinginan syariah.
          Saya mengakhiri dulu jawaban saya. Sambil menunggu reaksi anak muda tersebut.
          Setelah berfikir sejenak, anak muda itu kembali bertanya:
          “yang disebutkan dalam hadist-hadist itu kewajiban seorang pria muslim sesudah dia menikah. Apakah itu bisa dijadikan syarat, sebelum pernikahan?”
          “itu hak mereka . meski kewajiban itu baru akan menjadi wajib setelah kamu menikahi putri mereka, tapi mereka berhak untuk khawatir. Bila kamu memang terbukti belum punya pekerjaan tetap. Apalagi belum bekerja sama sekali,”tegas saya.
          Anak mudah itu seperti terus berfikir.
          “begini anak muda.mungkin kamu mau bertanyaapakah tidak boleh kamu menikahinya sebelum kamu punya pekerjaan tetap? Secara hukum, boleh-boleh saja. Tapi apakah orang tua boleh melarang putrinya menikah karena kondisimu yang seperti ini? Itu juga boleh.”jelas saya,sambil memandangi anakmudah itu. Iya kelihatan lesuh
          “sekarang ini banyak kalangan muda yang karena semangatnya yang menyala nyala ingin menegakkan sunnah, akhirnya memilih menikah dengan cara instant.meski mereka belum punya penghasilan apa-apa,tak punya apa-apa,dan masih miskin dalam segalanya.apa itu boleh? Boleh saja. Karena inti dari kehidupan pasangan suami istri adalah mencari maslahat. Kalau mereka belum mampu, lalu kedua orang tua mereka-orang tua atau mertua suami-berniat membantu perekonomian mereka sementara waktu, boleh-boleh saja. Misalnya mereka di izinkan tinggal bersama orangtua dulu,atau diberi santunan regular setiap bulannya. Tapi berapa banyak orang yang mendapat kesempatan seperti itu? Saya kira tidak banyak. Kalaupun ada,kira-kira apa layak mereka menjadi beban orang tua teus-menerus, sementara mereka sudah berumah tangga?jelas tidak pantas. Benar, bahwa sebagian daerah di tanah air menganggap hal itu lumrah.anak yang sudah menikah, lalu ngendon di rumah orangtuanya. Bahkan itu kerap dianggap sebagai kebahagiaan mangan ora mangan ngumpul . itu jargon sebagian komunitas masyarakat kita. Tapi apa cara hidup seperti itu sehat? Jelas tidak. Orang yang sudah berumahtangga , sebisa mungkin belajar untuk mandiri. Bahkan menyiapan diri untuk mandiri, dari sebelum mereka menikah.”
          Saya berhenti sejenak. Saya melihat,pemuda itu sudah sedikit tenang.tapi masih ada tanda kegelisahan di wajahnya.
          “sya cukup mengerti penjelasan ustadz. Tapi bagaimana soal nafsu syahwat saya ini? Saya sudah kepayahan sekali mencoba mengekangnya. Siapa yang menjamin saya bisa bertahan terus dalam kondisi ini?”
          “kalau soal itu, sementara saya menganjurkan begini. Kamu datangi saja orangtua calon istrimu itu, ajak dia berdialog secara dingin, santai. Empat mata saja.”… dan musyawarahlah diantara kamu(segalah sesuatu), dengan baik…”
          Cobalah ceritakan segalah keinginanmu,kesepakatannmu dengan calon istri, juga segalah kesulitanmu. Saya tak bisa memberi jaminan apa-apa. Tapi bisa jadi, calon mertuamu itu bisa memahami keadaanmu. Dan kamu bisa menikah dengan kesepakatan yang kalian buat bersama. Apapun hasil musyawarah kalian nanti, cobalah datang temui saya lagi di sini.

          Pagi itu , obrolan kami selesai. Setengah jam sudah saya menanggapi pertanyaan pertanyaannya. Saya minta pamit pulang. Menunggu hasil dialog pemuda itu dengan calon mertuanya.  

1 comment: