Monday, 17 April 2017
On April 17, 2017 by zainuddin in Sejarah No comments
Raja-raja Gowa Awal pemerintahan
Rumah Adat Balla Lompoa |
Kerajaan
Gowa diperintah oleh raja wanita yang disebut Sombaya. Raja pertama Gowa ini
disebut Tumanurung, artinya “orang yang turun dari langit/kahyangan”.
Menurut Sejarah Gowa, karena Tumanurung turun dari langit di daerah
Tamalate di Gowa, maka sering disebut Tumanurunga ri Tamalate (orang yang turun
di Tamalate). Meski raja pertama Gowa seorang wanita, namun setelah itu, tidak
pernah lagi takhta Kerajaan Gowa diduduki wanita. Sejak itu pula seorang wanita
tidak berhak menduduki takhta Gowa.
Menurut Sejarah
Gowa, sebelum ada raja di Gowa, Gowa terdiri atas sembilan buah negeri atau
daerah yang masing-masing dikepalai oleh seorang penguasa. Mereka ini merupakan
raja-raja kecil di kesembilan negeri itu. Negeri-negeri itu:Tombolo’, Lakiung,
Saumata, Parang-Parang, Data’, Agang Je’ne’, Bisei, KalIi’ (KaIling), dan
Sero’.
Kemudian
kesembilan penguasa atau raja-raja kecil itu membentuk sebuah gabungan atau
federasi. Gabungan ini diketuai oleh seorang pejabat yang
disebut paccallaya. Ialah yang bertindak sebagai ketua pemerintahan
gabungan atau federasi Gowa. Paccallaya ini merupakan “ketua dewan”
yang terdiri dari penguasa-penguasa yang bergabung itu. Paccallaya juga
bertindak sebagai hakim tertinggi, apabila terjadi sengketa atau pertentangan
di antara penguasa-penguasa yang bergabung dalam federasi Gowa itu.
Penguasa-penguasa itu berdiri sendiri dan bebas mengatur pemerintahan di dalam
daerahnya masing-masing.
Entah
berapa lamanya pemerintahan gabungan itu berjalan. Pada suatu
waktu paccallaya dan penguasa-penguasa atau raja-raja kecil itu
masygul. Mereka tidak memunyai seorang raja. Tetapi mereka juga tidak mau
memilih salah seorang di antara mereka untuk menjadi raja Gowa.
Tidak
lama kemudian terdengarlah berita bahwa di sebuah tempat lain di Gowa ada
seorang putri yang turun dari kahyangan. Maka paccallaya bersama
kesembilan orang penguasa atau raja-raja kecil itu pun berangkat menuju ke
tempat tersebut. Berita itu ternyata benar. Paccallaya dan kesembilan
orang penguasa itu menemukan seorang wanita cantik. Wanita itu memakai sebuah
kalung emas yang sangat indah buatannya. Siapa nama dan dari mana asal wanita
cantik itu tidak diketahui. Hanya dikatakan bahwa wanita itu turun dari
kahyangan. Kemudian wanita itu dinamakan Tumanurunga.
Lain
halnya di Kerajaan Luwu dan Kerajaan Bone. Seorang wanita dapat dan berhak
menduduki takhta Kerajaan. Misalnya, Kerajaan Bone mengenal beberapa orang raja
perempuan yang terkenal di dalam sejarah. Kita sebutkan antara lain: We
Banrigau Daeng Marowa Arung Majang (ratu keempat Bone), We Tenrituppu Matinroe
ri Sidenreng (ratu kesepuluh), Batari Toja Arung Timurung I Maning Aru Data
Matinroe ri Kassi (raja ke-25), dan Basse Kajuara Palaengngi Passempe.
Raja
Gowa yang paling dikehendaki dan paling memenuhi syarat adalah Karaeng Ti’no
(karaeng = raja, ti’no = masak atau matang). Ayah maupun ibunya
berdarah bangsawan tertinggi dan keturunan langsung dari Tumanurunga ri
Tamalate (ratu pertama Gowa).
Raja
Gowa memunyai kekuasaan yang mutlak (absolut). Betapa mutlaknya kekuasaan raja
Gowa dapatlah kita gambarkan pada sebuah kalimat dalam bahasa Makassar:
“Makkanama’ numammio" (Aku berkata dan engkau mengiyakan). Maksudnya,
segala titah atau perintah raja Gowa harus ditaati dan dipatuhi. Segala
kata-kata raja Gowa harus dilaksanakan, tidak boleh dibantah sedikit pun.
Seperti
dikatakan tadi, calon raja Gowa yang paling memenuhi syarat ialah dari golongan
atau tingkatan “karaeng ti’no” yakni yang ayah ibunya berdarah bangsawan
tertinggi dan seorang keturunan langsung dan Tumanurunga ri Tamalate, raja
pertama Gowa. Calon atau putra raja yang demikian itu disebut ana
pattola artinya “anak pengganti raja” (mattola = mengganti, menggantikan; pattola =
pengganti).
Ada
dua macam atau cara pelantikan raja Gowa. Yang pertama
disebut nilanti (dilantik) dan yang kedua
disebut nitogasa (ditugaskan). Jika calon raja itu
seorang Karaeng Ti’no, anak pattola sejati, maka ia akan nilanti.
Jika calon raja itu bukan seorang Karaeng Ti’no, bukan anak pattola sejati,
maka ia hanya nitogasa.
Upacara
penobatan raja Gowa yang disebut nilanti dilakukan di tamalate.
Upacara ini dilakukan di atas sebuah batu yang menurut riwayat adalah tempat
Tumanurunga turun dari langit. Upacara nitogasa dilakukan di depan
istana saja. Tentu saja upacara nilanti lazimnya lebih megah, meriah
dan lebih besar sifatnya daripada upacara nitogasa.
Pembantu-pembantu
Raja
Dalam
menjalankan pemerintahan raja Gowa dibantu oleh beberapa orang pembesar atau
pejabat kerajaan, yakni:
1. pabbicara
butta (juru bicara tanah atau juru bicara negeri);
2. tumailalalang
towa (tu = orang; ilalang = dalam; towa = tua);
3. tumailalang
lolo (tu = orang; ilalang = dalam; lolo = muda).
Di
samping itu raja Gowa dibantu oleh sebuah lembaga “perwakilan rakyat” yang
disebut Bate Salapanga (bate = panji, bendera; sialapang =
sembilan). Jadi, bate salapanga berarti pemegang bendera atau pembawa
panji yang berjumlah sembilan orang. Mula-mula lembaga ini
disebut Kasuwiang Salapanga (kasuwiang =
mengabdi; salapang = sembilan). Jadi, kasuwiang
salapanga berarti "pengabdi yang sembilan orang".
Lembaga Kasuwiang Salapanga yang kemudian menjadi Bate
Salapanga ini memang terdiri atas sembilan orang anggota.
1.
Pabbicara butta
Pabbicara
butta adalah orang kedua sesudah raja Gowa. Jadi jabatan pabbicara
butta dapat disamakan dengan perdana menteri, mahapatih, atau mangkubumi
Kerajaan Gowa. Dalam Sejarah Gowa, pada masa pemerintahan raja Gowa yang
ke-9 Tumapa’risi Kallonna, Kerajaan Gowa dan Kerajaan Tallo disatupadukan
kembali. Penyatuan kedua kerajaan itu dikuatkan oleh ucapan sumpah raja-raja
dan para pembesar kedua kerajaan itu. Sumpah itu di dalam bahasa Makassar
berbunyi: “Ia Iannamo Tau Ampassi Ewai Gowa-Tallo Iamo Nacalla Rewata”. artinya:
“Siapa-siapa saja yang mengadudomba Kerajaan Gowa dan Kerajaan Tallo, maka
orang itu akan dikutuk oleh dewata”.
Sejak
itulah Kerajaan Gowa dan Kerajaan Tallo, terutama dalam hubungan keluar,
merupakan satu kerajaan yang bersatu. Betapa kokoh perpaduan antara kedua
kerajaan bersaudara itu, dapat dilihat dalam ungkapan bahasa Makassar: Rua
karaeng se’re ata artinya “Dua raja namun satu hamba”. Maksudnya, dua raja
memerintah atas rakyat yang tetap satu. Sejak itu pula raja Tallo dan keturunan
pengganti baginda pada lazimnya diangkat menjadi pabbicara
butta Kerajaan Gowa.
Pabbicara
butta atau mangkubumi Kerajaan Gowa yang merangkap menjadi raja Tallo dan
yang terkenal di dalam sejarah, antara lain ialah:
a.
Karaeng Matoaya
Karaeng Matoayya |
Karaeng
Matoaya juga terkenal dengan nama Sultan Abdullah Awalul Islam Tumenanga ri
Agamana. la adalah raja Sulawesi Selatan yang mula-mula sekali memeluk Islam.
Yang mengislamkan ialah Khatib Tunggal Abdul Makmur yang lebih dikenal oleh
orang-orang Sulawesi-Selatan gelarnya, Dato’ ri Bandang.
Ada
tiga orang yang terkenal sebagai penyebar agama Islam di Sulawesi Selatan. Yang
pertama ialah Khatib Tunggal alias Dato’ ri Bandang. la bersama dua orang
temannya lagi, yakni Khatib Sulaiman yang terkenal dengan gelarnya Dato’ ri
Patimang, dan Khatib Bungsu yang kemudian terkenal dengan gelarnya Dato’ ri
Tiro karena ia wafat di Desa Tiro. Khatib Tunggal alias Dato’ ri Bandang ini
seorang ulama yang berasal dari Kota Tengah di Minangkabau, Sumatra Barat. Oleh
karena itu, ia diberi gelar Dato’, berasal dari gelar orang-orang Minangkabau,
Datuk.
Karaeng
Matoaya memeluk Islam pada 9 Jumadil Awal 1014 Hijrah (22 September 1605). Oleh
karena baginda adalah raja yang mula-mula sekali memeluk Islam di Sulawesi
Selatan, maka baginda mendapat gelar “Sultan Abdullah Awalul Islam”. Ia
terkenal sangat taat pada Islam. Oleh karena itu, setelah wafat pada 10 Oktober
1636 di Tallo, ia mendapatkan gelar anumerta: Tumenanga ri Agamana (raja atau
orang yang wafat dalam agamanya). Ada juga yang menyebut Tumenanga ri Tappa’na
(raja atau orang yang wafat dalam kepercayaannya). Ialah yang berjasa mengajak
kemenakannya, Sultan Alauddin raja Gowa yang ke-14, untuk masuk Islam.
Tidak
lama kemudian, Islam telah menjadi agama kerajaan di Gowa. Sembahyang Jumat
yang pertama di Tallo diadakan pada 9 November 1607 atau 19 Rajab 1016 Hijriah.
Setelah Kerajaan Gowa dan Kerajaan Tallo menjadi Kerajaan Islam dan
raja-rajanya telah memeroleh gelar sultan, kedua kerajaan itu menjadi pusat
penyebaran Islam di seluruh Sulawesi Selatan. Dalam hal ini Karaeng Matoaya
,alias Sultan Abdullah Awwalul Islam, raja Tallo ke-6, merangkap
sebagai tumabbicara butta Kerajaan Gowa, sangat besar sekali jasanya.
b.
Karaeng Pattingalloang
Karaeng Patingalloang |
Karaeng
Pattingalloang, raja ke-8 Tallo, mulanya menjabat sebagai pabbicara
butta Kerajaan Gowa pada zaman pemerintahan raja ke-15 Gowa, Sultan
Muhammad Said Tumenanga ri Papambatunna.
Karaeng
Pattingaloang terkenal sebagai seorang cendekia dan menguasai serta mahir
beberapa bahasa asing. Karaeng Pattingaloang terkenal pula dengan nama Sultan
Mahmud Tumenanga ri Bontobiraeng.
Pabbicara
butta biasa pula menjadi wali dan pemangku raja jikalau putra mahkota atau
raja masih belum mencapai usia untuk memegang sendiri tampuk
pemerintahan. Pabbicara butta memunyai pengaruh dan kekuasaan yang
besar sekali. Pabbicara butta-lah yang memerintah atas nama raja Gowa. Pada
mulanya jabatan pabbicara butta diadakan karena putra mahkota atau
raja Gowa masih belum dewasa. Kemudian jabatan pabbicara butta tetap
ada meski raja sudah dewasa dan memegang sendiri pemerintahan.
Tugas pabbicara butta di dalam bahasa Makassar sering disebut
“mabbaIigau”, artinya “membantu (raja Gowa) memerintah” atau “pasangan raja
dalam memerintah”. Demikianlah, sejak dari Batara Gowa menjadi raja ke-7 Gowa
dan Karaeng Loe ri Sero menjadi raja pertama Tallo, raja-raja Tallo selalu
menjadi baligau (patih) raja Gowa.
2.
Tumailalang Towa
la
adalah seorang pejabat atau pembesar kerajaan yang menyampaikan dan meneruskan
segala perintah raja Gowa kepada bate salapanga, kepada para kepala
distrik atau kepala wilayah, kepada para bate anak karaeng, dan lain-lain.
la menjaga pula agar supaya segala perintah raja Gowa dilaksanakan
sungguh-sungguh. Ia sering pula memimpin sidang-sidang yang diadakan untuk
membicarakan soal-soal yang sangat penting. Tumailalang towa-lah yang
menyampaIkan kepada sidang tersebut segala kehendak dan titah raja Gowa. Segala
keputusan, saran-saran, atau pesan-pesan raja Gowa disampaikan
oleh tumailalang towa.
3. Tumailalang
Lolo
Pejabat
kerajaan ini selalu berada di dekat raja Gowa. Ialah yang menerima usul-usul
dan permohonan untuk disampaikan kepada raja Gowa. Ia meneruskan segala
perintah raja Gowa mengenai soal-soal rumah tangga istana. Di dalam masa
perang, ia sering bekerja bersama dengan panglima pasukan-pasukan Kerajaan Gowa
yang disebut “anrongguru-lompona-tumak-kajannangnganga”. Mereka sering
membicarakan dan merencanakan segala soal yang bersangkut-paut dengan soal
peperangan.
Jabatan tumailalang
towa dan tumailalang lolo diangkat dan dipecat oleh raja
Gowa. Tumailalang towa dan tumailalang lolo pun
menghubungkan secara timbal balik antara pemerintah atau raja Gowa dengan
rakyat Gowa yang diwakili oleh bate salapanga.
Dahulu,
kedua fungsi itu dipegang oleh pacallaya, lalu
oleh tumailalang (orang yang di dalam). Jadi,
mula-mula tumailalang yang menggantikan
kedudukan paccallaya hanya ada satu orang. Kemudian dijadikan dua
orang, yakni tumailalang towa dan tumailala lolo. Fungsinya pun
dipecah menjadi dua, yakni: hubungan dari raja Gowa ke bate
salapanga dipegang oleh tumailalang towa, sedang hubungan
dari bate salapanga ke raja Gowa harus melalui tumailalang lolo.
Dengan demikian, bate salapanga dapat disamakan dengan parlemen atau
Dewan Perwakilan Rakyat.
1.
Kasuwiang Salapanga (Bate Salapanga)
Setelah
diangkat Tumanurunga menjadi raja Gowa, maka kedudukan kesembilan orang
penguasa itu mengalami perubahan. Kekuasaan mereka beralih dan jatuh ke tangan
Tumanurunga selaku raja atas seluruh daerah Gowa. Kemudian mereka hanya
merupakan Kasuwiang Salapanga (pengabdi yang sembilan orang). Dengan
begitu, mereka merupakan sembilan orang kepala negeri yang wajib berbakti atau
mengabdi kepada raja Gowa. Kemudian Kasuwiang Salapanga ini berubah
menjadi Bate Salapanga (sembilan orang pemegang bendera/panji).
Kesembilan orang inilah yang kemudian menjadi anggota Hadat
Sembilan Kerajaan Gowa.
Tiap
anggota bate salapanga adalah kepala pemerintahan di wilayah yang
merupakan federasi Gowa. Dahulu Gowa merupakan suatu federasi yang terdiri dari
sembilan buah negeri atau daerah. Tiap-tiap negeri atau daerah itu dikepalai
oleh seorang penguasa yang merupakan raja kecil. Ketua dari bate
salapanga disebut pacallaya.
Bate
salapanga ini kerap kali mengalami perubahan. Susunannya tidak lagi sama
dengan yang disebutkan di atas tadi. Misalnya, di sekitar tahun 1900 bate
salapanga terdiri atas: Gallarang Mangngasa, Gallarang Tombolo, Gallarang
Saumata, Gallarang Sudiang, Gallarang Paccellekang, Karaeng Pattallassang,
Karaeng Bontomanai, Karaeng Manuju, dan Karaeng Borisallo.
Bentuk
pemerintahan Kerajaan Gowa di bawah pimpinan Tumanurung, raja pertama Gowa,
mengandung unsur-unsur demokrasi yang terbatas. Antara Tumanurung di satu pihak
dan paccallaya dan Kasuwiang Salapanga di lain pihak,
dibuat sebuah ikrar atau perjanjian. Dalam perjanjian itu disebutkan tentang
pembagian tugas dan batas-batas wewenang antara raja yang memerintah dan rakyat
yang di perintah yang diwakili oleh Kasuwiang Salapanga.
Dalam
perjanjian yang dibuat antara raja pertama Gowa dengan Kasuwiang
Salapanga itu dapat dilihat dengan jelas bahwa pada mulanya pemerintahan
Kerajaan Gowa mengandung unsur-unsur demokrasi yang terbatas. Akan tetapi,
lambat-laun unsur-unsur demokrasinya menjadi kabur dan menjadi mutlak (absolute
monarchie) makin lama makin menonjol. Raja seolah-olah menguasai hidup dan
matinya rakyat. Kehendak raja Gowa adalah undang-undang dan tidak boleh
dibantah.
Meski
dewan ini berwenang memilih raja, para anggota Bate Salapanga tidak memunyai
wewenang untuk membuat undang-undang. Mereka tidak berwewenang untuk
menjalankan pemerintahan di seluruh Kerajaan. Mereka harus taat dan menjalankan
segala perintah raja. Bahkan kemudian mereka pun bukan lagi merupakan badan
penasihat. Raja memerintah secara mutlak. Sabda baginda merupakan undang-undang
yang harus ditaati dan dilaksanakan.
2.
Anrong-guru-Lompona tumak-kajannangnganga
Dia
inilah yang menjadi panglima pasukan-pasukan Kerajaan Gowa pada masa perang.
Pada masa damai ia ditugaskan menjaga agar orang-orang, mentaati dan
melaksanakan segala perintah raja Gowa. Jika ada orang yang membangkang dan
dianggap perlu ditindak dengan kekerasan, maka tugas karaeng tumakajannangngang
untuk menindaknya. Ia bertugas menumpas pemberontakan dan memberantas
pengacau-pengacau yang mengganggu keamanan dalam negeri. Ia juga bertugas
menjaga keamanan pribadi raja Gowa dan keluarga baginda.
3.
Lomo-tumak-kajannangnganga
Di
bawah anrong-guru-Lompona tumak-kajannangnganga ada lagi jabatan yang
disebut Lomo- tumak-kajannangnganga. Sebagai wakil atau pengganti panglima
perang ia meneruskan segala perintah karaeng
tumakajannangnganga kepada para bawahannya yang disebut anronggurunna
tumakkajannangnganga.
4.
Anrong-Guru-Lompona tu Bontoalaka
Kemudian
ada lagi jabatan penting sebagai pemimpin pasukan yang
disebut Anrong-Guru-Lompona tu Bontoalaka. Ia adalah pemimpin
tertinggi pasukan-pasukan orang-orang Bontoala. Bontoala adalah sebuah kampung
di bagian timur Kota Makassar atau Ujung Pandang. Kampung ini merupakan tempat
tinggal orang-orang tawanan perang yang kemudian dimerdekakan dan menjadi warga
Kerajaan Gowa. Mereka ini memunyai seorang kepala atau pemimpin sendiri yang
disebut Karaeng Bontoala (karaeng = raja). Setelah peperangan antara
Kerajaan Gowa dengan VOC berakhir, maka Kampung Bontoala diduduki oleh Aru
(Arung) Palakka. Di sinilah Aru Palakka tinggal dan kemudian wafat. Oleh karena
itu, Aru Palakka memeroleh gelar anumerta “matinrowe ri Bontoala”, artinya yang
tidur (wafat) di Kampung Bontoala.
5.
Anrong-gurunna tu bontoalaka
Di
bawah karaeng bontoala atau anrong-guru-lompona tu
bontoalaka, ada lagi pemimpin-pemimpin orang-orang Bontoala yang
disebut anrong-gurunna tu bontoalaka.
6.
Bate-Anak-Karaeng
Ada
lagi jabatan yang disebut Bate-Anak-Karaeng. Mula-mula daerah
kekuasaan bate anak karaeng merupakan daerah-daerah yang bebas dan
berdiri sendiri. Kemudian daerah-daerah ini dikalahkan dan menjadi daerah
takluk Kerajaan Gowa. Lalu daerah-daerah itu dihadiahkan oleh raja Gowa kepada
salah seorang “anak karaeng” atau anak raja/anak bangsawan yang dianggap
berjasa. Anak karaeng inilah yang menjadi raja kecil atau penguasa di
daerah bate-anak-karaeng itu. Semua orang di daerah itu harus tunduk
dan melaksanakan segala perintah anak karaeng yang mendapatkan hadiah dari raja
Gowa itu. Lazimnya mereka yang memperoleh
daerah bate-anak-karaeng itu masih berkeluarga dekat dengan raja yang
berkuasa. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jikalau di dalam
upacara-upacara adat yang resmi para bate-anak-karaeng ini didudukkan
di tempat yang terhormat. Bahkan sering di tempat yang lebih tinggi tingkatnya
dari pada para anggota bate salapanga.
7.
Sabannara
Sabannara atau
syahbandar merupakan pula jabatan yang cukup penting di dalam Kerajaan Gowa
yang merupakan kerajaan maritim. Sabannara membantu raja mengurus
soal keluar masuknya perahu-perahu di pelabuhan
Kerajaan. Sabannara mengurus soal pemasukan uang pajak bea dan cukai.
Selain itu, sabannara sering ditugaskan mengurus soal pemasukan uang
untuk harta kekayaan raja sendiri. Dahulu Kerajaan Gowa memunyai dua
orang sabannara, yakni Sabannara Towa dan Sabannara Lolo.
Pangkat sabannara biasanya dijabat oleh seorang bangsawan, keturunan
atau keluarga raja. Bahkan semua jabatan penting yang sudah disebutkan tadi, sedapat
mungkin dijabat oleh orang-orang bangsawan keluarga raja.
8.
Qadhi
Soal-soal
agama, perwakilan, dan lain-lainnya diurus oleh syara’ yang dikepalai oleh
seorang qadhi. Ia dibantu oleh pegawai-pegawai atau petugas-petugas syara’
seperti: imam, khatib, bilal, doja, dan lain-lain.
Selain
jabatan-jabatan yang disebutkan tadi, masih ada lagi beberapa pangkat atau
jabatan yang patut disebutkan, antara lain: karaeng, gallarang, anrong guru,
jannang, pabbicara, dan matowa. Mereka ini biasanya mengepalai pemerintahan
sebuah wilayah atau daerah.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Search
Pengunjung
My Profil
Popular Posts
-
BLOK OSCILATOR DAN SINKRONISASI PADA TV CRT (CATODE RAY TUBE) OLEH: KELOMPOK 3 MUH. AYYUB ...
-
BIDANG PERKADERAN 1. Pengantar Alhamdulillah, segalah puji hamya milik Allah SWT yang senantiasa memberikan limpahan nikmat ...
-
BIDANG ASPRESIASI SENI BUDAYA DAN OLAH RAGA 1. Pendahuluan Alhamdulillah,segala puji hanya milik Allah SWT yang senantiasa m...
IG
zainuddin1002
Recent Posts
Blog Archive
Powered by Blogger.
Postingan terbaru
IPM DENGAN CARANYA, SIKAPNYA, DAN KEIKHLASANNYA
“ IPM DENGAN CARANYA, SIKAPNYA, DENGAN KEIKHLASANNYA AKAN MEMBANGUN GENERASI PELAJAR BERKEMAJUAN DAN MENJADI PERCONTOHAN KARAKT...
Home Ads
zainuddin
Translate
Popular Posts
-
BLOK OSCILATOR DAN SINKRONISASI PADA TV CRT (CATODE RAY TUBE) OLEH: KELOMPOK 3 MUH. AYYUB ...
-
BIDANG ASPRESIASI SENI BUDAYA DAN OLAH RAGA 1. Pendahuluan Alhamdulillah,segala puji hanya milik Allah SWT yang senantiasa m...
-
BIDANG PERKADERAN 1. Pengantar Alhamdulillah, segalah puji hamya milik Allah SWT yang senantiasa memberikan limpahan nikmat ...
-
Teman-teman mungkin pernah memasukkan data ke Flash Disk dan entah kenapa setelah ingin di ambil ataupun ingin di cek datanya tidak ada...
-
BIDANG PENGKAJIAN ILMU PENGETAHUAN 1. Pendahuluan Alhamdulillah,segalah puji bagi Allah SWT yang senangtiasa memberikan kita ...
-
Akulah seragam SMA kemeja putih polos dan siap di kotori pilox warna saat pemilikku lulus nanti Akulah seragam sma symbol masa mu...
-
BIDANG IPMAWATI 1. Pendahuluan Alhamdulillah,segala puji hanya milik Allah SWT yang senantiasa memberikan limpahan nikmat...
-
PROGRAM KERJA ,REALISASI DAN PROBLEMATIKA PELAKSANAAN PROGRAM PIMPINAN CABANG IPM BAREMBENG PERIODE 2015-2017 A. BIDANG KEPEMIMP...
-
Arung Palakka Melawan Sultan Hasanuddin Kali ini sy akan mencoba mengungkap kisah perlawanan antara Arung Palakka dengan Sultan Hasanuddi...
0 komentar:
Post a Comment